Ketua presidium lembaga kemanusiaan bidang medis asal Indonesia Medical Emergency Rescue Committe (MER-C), Jose Rizal Jurnalis, mengatakan pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Bayt Lahiya, Gaza Utara, Palestina saat ini terhambat akibat intensitas serangan militer Israel ke Gaza yang terus meningkat.
Meski demikian, menurutnya, 28 relawan MER-C yang bertugas menyelesaikan pembangunan rumah sakit ini masih terus bertahan di sana walaupun kondisi logistik terus menipis.
“Ada 28 orang, tugas mereka untuk pembangunan, tidak untuk hal-hal lain termasuk medis. Para relawan ini biasanya dikaryakan di Rumah Sakit As-Syifa yang biasa mengurus korban-korban perang di Gaza,” ujar Jose di Jakarta, Senin (19/11).
“Kebutuhan relawan saat ini adalah makanan. Mereka bertahan di ruang bawah tanah Rumah Sakit Indonesia yang tengah dibangun. Logistik masih bertahan untuk satu hingga dua hari ke depan. Tidak ada jaminan keamanan dari siapapun di sana termasuk dari pemerintah Palestina.”
Jose menambahkan, MER-C akan mengirimkan tim medis terutama ahli bedah ke Gaza, jika pertempuran di Gaza terus meningkat.
Pimpinan Divisi kontruksi MER-C Faried Thalib mengatakan pembangunan rumah sakit sempat dihentikan pada minggu lalu selama beberapa hari akibat pertempuran itu. Saat ini pengerjaan pembangunan untuk saat ini di fokuskan di lantai bawah tanah, ujarnya.
Faried menjelaskan, pembangunan rumah sakit ini dimulai sejak pertengahan 2011 lalu, dengan menempati lahan milik pemerintah Indonesia seluas 1,6 hektar. Saat ini untuk struktur bangunan telah hampir selesai dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 12 miliar, dari total anggaran lebih dari Rp 30 miliar. Dana pembangunan rumah sakit Indonesia ini menurut Faried, berasal dari sumbangan masyarakat Indonesia.
Faried menambahkan, komunikasi antara para relawan di Gaza dengan kantor MER-C di Jakarta masih berjalan baik. Hingga Minggu malam menurut Farid, para relawan mengisahkan, bom yang dijatuhkan Israel pada hari Minggu lalu berjarak 50 sampai 100 meter dari Rumah Sakit Indonesia.
Pengiriman bantuan kemanusiaan untuk warga sipil di Gaza juga dilakukan oleh lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Direktur Eksekutif ACT Imam Akbari kepada VOA mengatakan ACT dalam waktu dekat akan mengirimkan tenaga relawan medis dan uang untuk dibelikan kebutuhan warga yang ada di Gaza. Fokus bantuan dari ACT ini dikhususkan untuk perempuan dan anak-anak.
“Akan menurunkan tim medis yang ada, dengan berkoordinasi dengan mitra-mitra ACT dari Indonesia yang sudah ada di Gaza. Fokus utama adalah membantu perempuan dan anak-anak yang ada di Gaza, khususnya di daerah Jabaliah Gaza. Relawan kita nanti juga akan membawa uang tunai untuk dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan warga sipil yang ada di sana,” ujarnya.
Terkait aksi-aksi solidaritas terhadap Palestina, khususnya menyangkut pengiriman relawan ke Gaza dari sejumlah lembaga kemanusiaan di Indonesia, juru bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tenne meminta agar warga Indonesia tidak bepergian ke Gaza. Namun, jika memang akan ke Gaza, Michael meminta agar berhati-hati dan menghindari lokasi-lokasi pertempuran.
“Apabila tidak ada kepentingan yang sangat-sangat mendesak tentunya kita mengimbau agar warga kita tidak berkunjung ke wilayah yang bergejolak seperti Gaza. Namun, apabila telah menyadari semua risiko dan tetap bertekad untuk ke sana, kita minta agar benar-benar berhati-hati dan menghindari pertempuran,” ujar Michael.
Sementara itu, terkait sikap Indonesia atas konflik di Gaza, Michael menegaskan pemerintah Indonesia meminta agar kedua belah pihak bisa menahan diri untuk meredakan pertempuran yang tengah terjadi. Pemerintah Indonesia, menurut Michael, juga meminta Dewan Keamanan PBB untuk segera mengambil langkah konkrit untuk meredakan ketegangan di wilayah itu.