Madrasah Darul Uloom Zakariyya terletak di Lenasia, Johannesburg. Madrasah di Afrika Selatan sama dengan pesantren kalau di Indonesia. Jarak Darul Ullom dari Bosmont, sekitar 20 km. Jadi dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai ke pesantren tersebut.
Dari kejauhan komplek pesantren Darul Uloom lebih mirip benteng di padang gersang karena memang berada di hamparan tanah luas yang dikelilingi semak belukar. Yang membedakan adalah menara masjid yang tinggi. Dari arah jalah raya, hanya ada tulisan Ashrama Entrance.
Assalamuailum brother, Anda dari Indonesia? Alhamdullillah," kata seorang pria berjenggot tebal, salah seorang staf pengajar di pesantren tersebut, Abdullah Devza, ketika menyambut "PRLM'.
Menurut Abdullah, pesantren ini memiliki sekitar 700 murid dari 52 negara, termasuk Indonesia, serta 46 orang pengajar. "Madrasah ini didirikan oleh masyarakat muslim Afrika Selatan pada 1925 dan merupakan salah satu dari empat madrasah besar yang ada di negeri ini," kata Abdullah.
Lama belajar adalah tujuh tahun untuk menjadi ulama agar bisa menjadi pemimpin dan mengarahkan umat manunsia. Sebagian santri Indonesia yang ditemui mengakui bahwa mereka ingin kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan. Saat ini, terdapat sekitar 30-an santri dari Indonesia yang umumnya mendapat fasilitas beasiswa.
Jika yang tidak mendapatkan beasiswa, setiap santri dikenai biaya 12.000 rand (Rp13 juta) per tahun, ditambah 250 rand untuk biaya kebersihan. Jika ada murid yang tidak mampu, yayasan akan membebaskan dari biaya. "Masantren di sini lebih fokus. Tugas kita hanya belajar. Kalau mau makan sudah ada yang masakin. Kalau mau nyuci sudah ada laundri," ujar Lutfi, mahasiswa asal Sukabumi.
Kelebihan lainnya adalah bisa lebih mengenal karakter dan bahasa dari negara lain. "Santri di sini berasal lebih dari 50 negara. Jadi, kita juga jadi hafal berbagai bahasa dan karakter orang. Selain Bahasa Inggris dan Arab, bahasa lain yang digunakan di sini adalah Bahasa Urdu dari India karena pemilik pesantren ini berasal dari India," kata Lutfi.
Setiap santri juga diberi fasilitas yang sama. Untuk satu kamar, biasanya memiliki enam tempat tidur dan enam lemari untuk enam santri. Para santri tersebut boleh menambahkan fasilitas lainnya seperti kulkas atau pemanas ruangan. Kompleks asrama putra dan putri terletak berjauhan. Asrama putri terletak sekitar 1 km dari asrama putra. "Saya sendiri belum pernah mendatangi asrama putri. Santri putri juga belum pernah ada yang datang ke asrama putra," ujar Lutfi.
Para santri belajar dari pagi hingga menjelang malam. Namun, saat musim dingin seperti sekarang ini, proses belajar menjadi tidak teratur. "Kalau sedang dingin, biasanya kami berkumpul di aula tapi sambil belajar. Kalau sudah dingin, tangan sampai enggak bisa digerakkan buat menulis," kata Lutfi.
Melongok lebih jauh ke dalam kompleks, terdapat sekitar lima belas ruang kelas dan mesjid yang luas. Di bagian belakang mesjid, terdapat ruang perpustakaan yang menyimpan ribuan koleksi buku tentang Islam. Beberapa santri tampak serius membaca al quran sambil menunggu waktu salat duhur.
Namun, tidak tampak demam Piala Dunia 2010 di tempat ini. "Kebetulan, dalam waktu dekat ini kami akan ujian, jadi tidak ada waktu untuk menyaksikan Piala Dunia. Paling sekilas saja," kata Epul Saepulloh, santri asal Garut.
Televisi memang tidak dilarang di sini, tetapi santri tidak boleh menonton televisi dengan serius, apalagi meninggalkan pelajaran mereka. "Untuk telefon tidak dilarang. Namun, saya jarang telefon ke Indonesia, paling sebulan sekali. Yang sering telefon justru keluarga saya di Garut,' ujar Epul.
Para santri juga mendapat jatah libur pada hari Minggu. "Namun, kami jarang keluar kompleks untuk mengisi hari libur karena masalah transportasi dan keamanan. Lebih baik di dalam kompleks saja sambil belajar," kata Epul.
Sumber PR
Dari kejauhan komplek pesantren Darul Uloom lebih mirip benteng di padang gersang karena memang berada di hamparan tanah luas yang dikelilingi semak belukar. Yang membedakan adalah menara masjid yang tinggi. Dari arah jalah raya, hanya ada tulisan Ashrama Entrance.
Assalamuailum brother, Anda dari Indonesia? Alhamdullillah," kata seorang pria berjenggot tebal, salah seorang staf pengajar di pesantren tersebut, Abdullah Devza, ketika menyambut "PRLM'.
Menurut Abdullah, pesantren ini memiliki sekitar 700 murid dari 52 negara, termasuk Indonesia, serta 46 orang pengajar. "Madrasah ini didirikan oleh masyarakat muslim Afrika Selatan pada 1925 dan merupakan salah satu dari empat madrasah besar yang ada di negeri ini," kata Abdullah.
Lama belajar adalah tujuh tahun untuk menjadi ulama agar bisa menjadi pemimpin dan mengarahkan umat manunsia. Sebagian santri Indonesia yang ditemui mengakui bahwa mereka ingin kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan. Saat ini, terdapat sekitar 30-an santri dari Indonesia yang umumnya mendapat fasilitas beasiswa.
Jika yang tidak mendapatkan beasiswa, setiap santri dikenai biaya 12.000 rand (Rp13 juta) per tahun, ditambah 250 rand untuk biaya kebersihan. Jika ada murid yang tidak mampu, yayasan akan membebaskan dari biaya. "Masantren di sini lebih fokus. Tugas kita hanya belajar. Kalau mau makan sudah ada yang masakin. Kalau mau nyuci sudah ada laundri," ujar Lutfi, mahasiswa asal Sukabumi.
Kelebihan lainnya adalah bisa lebih mengenal karakter dan bahasa dari negara lain. "Santri di sini berasal lebih dari 50 negara. Jadi, kita juga jadi hafal berbagai bahasa dan karakter orang. Selain Bahasa Inggris dan Arab, bahasa lain yang digunakan di sini adalah Bahasa Urdu dari India karena pemilik pesantren ini berasal dari India," kata Lutfi.
Setiap santri juga diberi fasilitas yang sama. Untuk satu kamar, biasanya memiliki enam tempat tidur dan enam lemari untuk enam santri. Para santri tersebut boleh menambahkan fasilitas lainnya seperti kulkas atau pemanas ruangan. Kompleks asrama putra dan putri terletak berjauhan. Asrama putri terletak sekitar 1 km dari asrama putra. "Saya sendiri belum pernah mendatangi asrama putri. Santri putri juga belum pernah ada yang datang ke asrama putra," ujar Lutfi.
Para santri belajar dari pagi hingga menjelang malam. Namun, saat musim dingin seperti sekarang ini, proses belajar menjadi tidak teratur. "Kalau sedang dingin, biasanya kami berkumpul di aula tapi sambil belajar. Kalau sudah dingin, tangan sampai enggak bisa digerakkan buat menulis," kata Lutfi.
Melongok lebih jauh ke dalam kompleks, terdapat sekitar lima belas ruang kelas dan mesjid yang luas. Di bagian belakang mesjid, terdapat ruang perpustakaan yang menyimpan ribuan koleksi buku tentang Islam. Beberapa santri tampak serius membaca al quran sambil menunggu waktu salat duhur.
Namun, tidak tampak demam Piala Dunia 2010 di tempat ini. "Kebetulan, dalam waktu dekat ini kami akan ujian, jadi tidak ada waktu untuk menyaksikan Piala Dunia. Paling sekilas saja," kata Epul Saepulloh, santri asal Garut.
Televisi memang tidak dilarang di sini, tetapi santri tidak boleh menonton televisi dengan serius, apalagi meninggalkan pelajaran mereka. "Untuk telefon tidak dilarang. Namun, saya jarang telefon ke Indonesia, paling sebulan sekali. Yang sering telefon justru keluarga saya di Garut,' ujar Epul.
Para santri juga mendapat jatah libur pada hari Minggu. "Namun, kami jarang keluar kompleks untuk mengisi hari libur karena masalah transportasi dan keamanan. Lebih baik di dalam kompleks saja sambil belajar," kata Epul.
Sumber PR