Kuruk-kuruk! Semoga Hujan, Tak Ada Demo
(201125 Okt. 2010) 
Di antara para petugas kepolisian yang berjaga-jaga di depan Istana  Negara, ada seorang "petugas keamanan" yang bekerja sangat unik. Orang  ini bukan polisi, melainkan pawang yang berupaya menurunkan hujan di  sekitar Monumen Nasional.
Sambil mengangkat kedua tangannya, Bijai Marpaung, nama pawang asal Medan itu, memanjatkan doa-doa yang dibuatnya sendiri. "Kuruk... kuruk... kuruk... kuruk... kuruk.. kuruk... kuruk... kuruk,"  katanya berulang-ulang sambil menengadahkan kedua tangannya dari atas  kepala hingga sujud menyentuh tikar plastik yang dikenakannya.
Begitulah  cara Bijai Marpaung "bernegosiasi" kepada Sang Khalik. Ia berharap,  "komunikasi" itu menghasilkan hujan pada saat pengunjuk rasa datang di  depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Asal  Anda tahu, sebelum memulai prosesi doa itu, pria 48 tahun tersebut  terlebih dulu minta izin kepada Kepala Polda Metro Jaya Irjen Sutarman.   "Pak Kapolda, saya pawang hujan. Mohon izin kiranya Bapak  menginginkan hujan atau sebaliknya," kata Marpaung yang disambut ramah  oleh Kapolda.
Sambil senyum-senyum, Sutarman menjawab agar  Marpaung menurunkan hujan. "Biar enggak ada demo," ujar Marpaung  menirukan permintaan Sutarman.
Benar saja, begitu para demonstran  mulai mendatangi kawasan Monas, tepatnya di depan Istana Negara,  Marpaung langsung beraksi. Sambil duduk di atas alas plastik berukuran  1x1,5 meter, ayah dua putra itu duduk bersila ditemani tongkat hitam di  sebelah kirinya dan setengah gelas air susu dan sebotol air mineral.  Inilah perlengkapan sederhana yang ia butuhkan selama menjalankan  "tugas".
Sebetulnya masih ada syarat lain yang ia perlukan, tapi  itu hanya dipenuhi kalau ia disewa pihak tertentu dan dibayar.  "Syaratnya, rokok Surya 16 dua bungkus dan korek api. Itu kalau orang  minta buat hajatan," kata pawang yang pernah dibayar Rp 1,5 juta oleh  seorang artis ibu kota tersebut.
Selama di Monas kali ini,  Marpaung tidak mengharapkan imbalan uang. Tapi, kalaupun ada orang yang  ingin memberinya upah, laki-laki yang menekuni ilmu kepawangan sejak  1999 itu tidak akan menolak.  "Waktu di Medan, saya sering jadi pawang  di Polda dan Pangdam. Sudah enam generasi di sana," ceritanya kepada Kompas.com. 
"Saya  pernah ditangkap di sini (depan istana) tahun 2003, sebelum upacara  17-an. Dikira teroris, tapi sehari kemudian dilepas," tambahnya.
Marpaung  yang kini hidup merantau tanpa sanak saudara tidak pernah menetap di  satu tempat. Sejak setahun tinggal bersama kejamnya Ibu kota, tidurnya  berpindah-pindah. Kadang di masjid, kadang di stasiun. "Ini saya baru  kehilangan dua handphone di Stasiun Senen," katanya menutup pembicaraan.
Boleh  percaya atau tidak, sekitar pukul 11.10, gerimis hujan mulai turun di  kawasan Monas. Padahal, sebelumnya cuaca cukup panas meski langit  berangsur-angsur mendung.







0 komentar:
Posting Komentar