Kesungguhan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghapus upeti yang diterima para dokter wajib didukung. Upaya ini diharapkan bisa menghapus praktek kolusi di kalangan dokter dengan produsen obat, sekaligus menciptakan aturan yang komprehensif agar dokter tidak gampang menerima gratifikasi.
Praktek gratifikasi terhadap dokter oleh perusahaan farmasi sudah lama terdengar. Majalah Tempo, pekan lalu, mengungkap kongkalikong antara industri farmasi, rumah sakit, apoteker, dan dokter ketika meresepkan obat-obat tertentu kepada pasien.
Unsur suap yang jelas terjadi itu ternyata tidak serta-merta bisa mempidanakan mereka yang terlibat. Majelis Etik Kedokteran bentukan IDI, wadah berhimpunnya para dokter, hanya bisa mengeluarkan teguran atau mencabut izin dokter yang melanggar. Tak pernah kasus ini berujung di pengadilan.
Ada persoalan lain pula dalam gratifikasi dokter ini. Peraturan Menteri Kesehatan yang menjadi acuan boleh-tidaknya dokter menerima gratifikasi, misalnya, ternyata tidak menyentuh dokter swasta. Meski Kementerian memiliki unit pengendalian gratifikasi, yang tugasnya melakukan analisis, pelaporan, monitoring, dan evaluasi adanya gratifikasi, sasarannya hanya untuk dokter berstatus pegawai negeri.
KPK ternyata juga tak gampang menjerat dokter penerima gratifikasi. Penyebabnya, tidak semua dokter yang membuka praktek di rumah, di rumah sakit, atau bekerja di berbagai perusahaan berstatus pegawai negeri. Komisi antirasuah, sesuai dengan undang-undang, hanya bisa menindak para penyelenggara negara atau pegawai negeri.
Inilah salah satu kekurangan undang-undang itu. Padahal, terlepas dari status “dokter negeri” atau partikelir, jika menerima suap, semestinya dipidana.
Temuan Tempo memperlihatkan hal ini. Ribuan dokter dan ratusan rumah sakit pada lima provinsi diduga menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi dalam bermacam bentuk, dari uang hingga berbagai fasilitas. Yang lebih memprihatinkan, banyak di antara mereka melakukan transaksi pembagian komisi.
Ini semua mendorong harga obat di pasaran melambung. Industri farmasi membebankan “biaya” untuk para dokter kepada pasien.
Kementerian harus menghentikan praktek gratifikasi yang sudah berpuluh tahun terjadi itu. Perlu terobosan untuk menutup praktek korupsi ini. Misalnya, dengan membuat aturan yang mencegah kontak langsung antara dokter dan pengusaha bidang farmasi.
Semua perusahaan farmasi, dalam memproduksi obat, misalnya, hanya berhubungan dengan pemerintah. Adapun KPK harus mengusut kasus ini.
Untuk para dokter, perlu dibuat aturan tegas: mereka wajib menawarkan obat generik yang murah dan sebenarnya tak kalah mutunya kepada pasien yang datang.
Bukan sebaliknya, menyodorkan obat mahal hasil kangkalikong dengan perusahaan farmasi. Aturan ini harus diiringi dengan sanksi keras jika terbukti dilanggar.
0 komentar:
Posting Komentar